(Terima kasih untuk Hendragunawan ST, yang komentarnya di blog ini menjadi pemantik lahirnya catatan ini).
GOENAWAN Mohamad konon merasa banyak dipengaruhi Chairil Anwar, sementara Chairil Anwar sendiri merasa banyak belajar dari penyair Belanda, Marsman, dan Marsman pastilah “mencuri” ilmu menyair dari penyair entah siapa lagi, dan begitu seterusnya. Contoh lain, Rendra pada masa awalnya “menjiplak” Lorca, meskipun ia membantahnya, sementara Shakespeare mengaku terinspirasi Goethe. Daftar ini masih bsa ditambah lagi, tapi yang mau dikatakan di sini adalah, jika begitu masih adakah sebetulnya yang disebut “asli” di kolong langit ini? Jawabannya jelas : tidak ada.
Tantangan penciptaan adalah bagaimana dari kondisi yang “tidak asli” dan “saling mempengaruhi” itu bisa lahir sebentuk “perkawinan” yang kemudian memunculkan sebuah sintesa yang “baru” – bukan “asli”. Jadi tidak masalah Goenawan Mohamad merasa terpengaruh Chairil, yang penting adalah bahwa yang kemudian lahir dari tangannya bukan lagi puisi-puisi milik Chairil, tetapi puisi-puisi yang “baru”, yang kemudian kita bisa mengendusnya sebagai betul milik Goenawan.
Proses untuk mencapai yang “baru” itu seringkali menyakitkan. Afrizal Malna mengakui kuatnya pengaruh puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri pada masa-masa permulaan kepenyairannya. “Tapi”, demikian ia pernah bertutur, “pelan-pelan saya mencoba melepaskan diri dari pengaruh itu”. Dan “melepaskan diri” dari “pengaruh”, dalam praktik konkritnya misalnya bisa berupa tindakan “mencoret” sendiri puisi-puisi yang sudah kita buat, kalau kita sendiri memang meragukannya. Afrizal Malna bahkan pernah membakar – sungguh-sungguh membakar, bukan dalam arti simbolis – naskah kumpulan puisi pertamanya, yang ditolak Balai Pustaka.
Sebagai penulis memang kita dituntut “keras” kepada tulisan kita sendiri. Kalau kita tak sanggup melakukannya, tugas itu akan diambil-alih oleh para pembaca tulisan kita. Ingatlah, pembaca adalah para juri yang jujur, tidak pandang bulu, dan kejam. Mereka selalu menuntut yang “terbaik”, mereka cuma butuh yang “nomor satu”. Maka kalau kita tak tega “merobek” puisi kita, mereka, sidang pembaca yang terhormat itu, akan dengan senang hati membantu melakukannya.
Apakah tak ada semacam “jalan tengah” di sini? Setahu saya sih kagak ada.
GOENAWAN Mohamad konon merasa banyak dipengaruhi Chairil Anwar, sementara Chairil Anwar sendiri merasa banyak belajar dari penyair Belanda, Marsman, dan Marsman pastilah “mencuri” ilmu menyair dari penyair entah siapa lagi, dan begitu seterusnya. Contoh lain, Rendra pada masa awalnya “menjiplak” Lorca, meskipun ia membantahnya, sementara Shakespeare mengaku terinspirasi Goethe. Daftar ini masih bsa ditambah lagi, tapi yang mau dikatakan di sini adalah, jika begitu masih adakah sebetulnya yang disebut “asli” di kolong langit ini? Jawabannya jelas : tidak ada.
Tantangan penciptaan adalah bagaimana dari kondisi yang “tidak asli” dan “saling mempengaruhi” itu bisa lahir sebentuk “perkawinan” yang kemudian memunculkan sebuah sintesa yang “baru” – bukan “asli”. Jadi tidak masalah Goenawan Mohamad merasa terpengaruh Chairil, yang penting adalah bahwa yang kemudian lahir dari tangannya bukan lagi puisi-puisi milik Chairil, tetapi puisi-puisi yang “baru”, yang kemudian kita bisa mengendusnya sebagai betul milik Goenawan.
Proses untuk mencapai yang “baru” itu seringkali menyakitkan. Afrizal Malna mengakui kuatnya pengaruh puisi-puisi Sutarji Calzoum Bachri pada masa-masa permulaan kepenyairannya. “Tapi”, demikian ia pernah bertutur, “pelan-pelan saya mencoba melepaskan diri dari pengaruh itu”. Dan “melepaskan diri” dari “pengaruh”, dalam praktik konkritnya misalnya bisa berupa tindakan “mencoret” sendiri puisi-puisi yang sudah kita buat, kalau kita sendiri memang meragukannya. Afrizal Malna bahkan pernah membakar – sungguh-sungguh membakar, bukan dalam arti simbolis – naskah kumpulan puisi pertamanya, yang ditolak Balai Pustaka.
Sebagai penulis memang kita dituntut “keras” kepada tulisan kita sendiri. Kalau kita tak sanggup melakukannya, tugas itu akan diambil-alih oleh para pembaca tulisan kita. Ingatlah, pembaca adalah para juri yang jujur, tidak pandang bulu, dan kejam. Mereka selalu menuntut yang “terbaik”, mereka cuma butuh yang “nomor satu”. Maka kalau kita tak tega “merobek” puisi kita, mereka, sidang pembaca yang terhormat itu, akan dengan senang hati membantu melakukannya.
Apakah tak ada semacam “jalan tengah” di sini? Setahu saya sih kagak ada.
1 comment:
asyik membaca tulisanmu, bung...
seperti piknik... (jadi tercerahkan, nih :p)
Post a Comment