https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

05 December 2006

H o r i s o n

DIAM-DIAM tanpa disertai banyak keplok tangan majalah sastra Horison memasuki umurnya yang ke-40, Juli 2006 yang lalu. Bisa bertahan begitu lama – di tengah banyak kritik dan cerca serta situasi secara umum yang tidak memihak – sungguh sebuah prestasi yang sangat fenomenal sebetulnya. Empat puluh tahun itu bukanlah masa yang singkat kalau kita ingat bahwa rejim Orde Baru Soeharto saja “hanya” bisa bertahan selama 32 tahun. Jadi, secara goblok bolehlah buat sementara ditarik kesimpulan bahwa majalah Horison ternyata “lebih perkasa” ketimbang sang tiran yang murah senyum itu.

Soal mengapa prestasi fenomenal itu hanya disambut dingin, agaknya itu bersangkutan dengan pamor majalah itu yang oleh banyak pihak diakui kini “sudah luntur”. Sastra Indonesia hari ini mengambil tempat (terbanyak) di halaman-halaman surat kabar, ditambah halaman-halaman buletin di daerah yang secara bergerilya diusahakan para pendukungnya. Kehadiran situs-situs sastra di internet, meskipun untuk saat ini kesannya baru sekadar jadi “penggembira”, diakui atau tidak sudah ikut pula “merongrong” kewibawaan Horison. Jadi, ada banyak “horison” lain, ada banyak pilihan saat ini, sehingga posisi majalah sastra Horison itu sendiri menjadi relatif, bukan lagi “pusat” yang disembah-sembah.

Bermigrasinya sastra kita dari majalah ke koran-koran, mengundang banyak polemik. Katrin Bandel, seorang peneliti sastra Indonesia asal Jerman, memiliki argumen kuat yang mempertanyakan implikasi negatif dari menjamurnya apa yang dengan mudah kini disebut “sastra koran” itu. Dalam analisisnya sastra koran lebih banyak “merugikan” ketimbang “menguntungkan” kehidupan sastra itu sendiri. Lembaran sastra di koran itu sempit kata Katrin, karena itu mustahil mengharapkan lahirnya karya-karya yang dalam dan bermutu dari kondisi itu.

Karena itu ia berharap majalah sastra sekaliber Horison ke depan bisa mengisi kelemahan sastra koran. Hanya saja Horison agaknya tidak (?) tertarik melangkah ke sana. Dalam kata-kata Katrin Bandel : Sayang sekali sampai saat ini Horison tampaknya tidak terlalu berminat memanfaatkan peluang tersebut. Dari tahun ke tahun Horison “begitu-begitu saja”, kalau tidak mau dikatakan “jalan di tempat”, dengan desgin dan format yang ketinggalan zaman dan pilihan tulisan yang sering tidak begitu menarik. Mungkin redaksinya terlalu sibuk mengurus kegiatan lain seperti bertandang ke sana ke mari untuk berinteraksi dengan pelajar di berbagai daerah, atau menyusun keempat “kitab sakti” sastra Indonesia, sehingga tidak sempat memperhatikan kondisi kesehatan majalahnya sendiri (Katrin Bandel dalam :”Majalah Sastra : Sebuah Utopia” – Majalah Horison November 2006).

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...