Aa yang terhormat,
Melalui surat ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aa. Pilihan jujur yang Aa ambil sudah berhasil membangunkan kami dari mimpi “indah” kami yang sebetulnya kosong-melompong. Aa sudah menolong kami menyadari bahwa kita semua ternyata hanya manusia-manusia biasa yang lemah. Bahwa kita hanyalah mahluk rapuh yang tersusun dari daging, tulang , serta sejumlah niat baik yang selalu saja dirongrong niat-niat lainnya.
Tindakan Aa yang tidak populer itu telah membikin banyak orang jadi sewot dan uring-uringan. Memang tidak enak rasanya kalau kita dipaksa bangun dari mimpi indah kita. Tapi siapa yang salah sebetulnya dalam urusan ini? Bukankah kami yang telah memulainya lebih dulu? Kami membutuhkan sebuah sosok “sempurna”, figur “ideal” yang bisa kami jadikan rujukan bahwa hidup kita hari-hari ini belumlah betul-betul bobrok, belum “tamat”. Bahwa masuh ada yang “selamat” dari situasi absurd sekarang ini. Aa telah kami pilih – secara sepihak – untuk menjalankan peran besar dan muskil itu.
Kami telah mendisain Aa sedemikian rupa, memformatnya dengan sempurna, menutup senua celah kemungkinan yang bisa membuat “kacau” citra yang kami ciptakan untuk Aa. Kami telah memaukkan Aa ke dalam semacam kerangkeng, pendek kata kami telah memaksa Aa menjadi “sesuai” dengan apa kehendak kami, seraya melupakan bahwa Aa sebetulnya yang paling berhak mengatur hidup Aa sendiri. Bahwa hidup adalah semacam air yang terus mengalir, dan karenanya manusia – saya, kami. Aa, siapa pun – bisa saja kapan-kapan berubah. Hanya Allah yang tidak berubah, bukan?
Tapi kami rupanya tak siap dengan perubahan itu. Sebagian dari kami begitu marah dan emosional, persis seperti anak-anak yang “ngambek” karena mainannya dirusak. Tapi biar saja begitu. Jalan menuju “pencerahan” sering memang menyakitkan. Saya tetap berterima-kasih kepada Aa karena sudah membantu kami – secara tidak sengaja tentu – mengalami “pencerahan” itu. Tapi urusan kalkulasi “dosa” sebagai akibat dari pilihan yang sudah Aa ambil itu tentu saja menjadi urusan dan tanggung jawab Aa pribadi dengan yang “di atas”. Saya mah kagak ikutan dong.
Demikianlah surat saya ini, yang saya tulis dengan agak terburu-buru, disertai harapan tulus semoga karir Aa tidak lalu jadi ambrol, dan barisan fans Aa tidak juga “bubar jalan” gara-gara kehebohan ini. Salam hormat.
Melalui surat ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Aa. Pilihan jujur yang Aa ambil sudah berhasil membangunkan kami dari mimpi “indah” kami yang sebetulnya kosong-melompong. Aa sudah menolong kami menyadari bahwa kita semua ternyata hanya manusia-manusia biasa yang lemah. Bahwa kita hanyalah mahluk rapuh yang tersusun dari daging, tulang , serta sejumlah niat baik yang selalu saja dirongrong niat-niat lainnya.
Tindakan Aa yang tidak populer itu telah membikin banyak orang jadi sewot dan uring-uringan. Memang tidak enak rasanya kalau kita dipaksa bangun dari mimpi indah kita. Tapi siapa yang salah sebetulnya dalam urusan ini? Bukankah kami yang telah memulainya lebih dulu? Kami membutuhkan sebuah sosok “sempurna”, figur “ideal” yang bisa kami jadikan rujukan bahwa hidup kita hari-hari ini belumlah betul-betul bobrok, belum “tamat”. Bahwa masuh ada yang “selamat” dari situasi absurd sekarang ini. Aa telah kami pilih – secara sepihak – untuk menjalankan peran besar dan muskil itu.
Kami telah mendisain Aa sedemikian rupa, memformatnya dengan sempurna, menutup senua celah kemungkinan yang bisa membuat “kacau” citra yang kami ciptakan untuk Aa. Kami telah memaukkan Aa ke dalam semacam kerangkeng, pendek kata kami telah memaksa Aa menjadi “sesuai” dengan apa kehendak kami, seraya melupakan bahwa Aa sebetulnya yang paling berhak mengatur hidup Aa sendiri. Bahwa hidup adalah semacam air yang terus mengalir, dan karenanya manusia – saya, kami. Aa, siapa pun – bisa saja kapan-kapan berubah. Hanya Allah yang tidak berubah, bukan?
Tapi kami rupanya tak siap dengan perubahan itu. Sebagian dari kami begitu marah dan emosional, persis seperti anak-anak yang “ngambek” karena mainannya dirusak. Tapi biar saja begitu. Jalan menuju “pencerahan” sering memang menyakitkan. Saya tetap berterima-kasih kepada Aa karena sudah membantu kami – secara tidak sengaja tentu – mengalami “pencerahan” itu. Tapi urusan kalkulasi “dosa” sebagai akibat dari pilihan yang sudah Aa ambil itu tentu saja menjadi urusan dan tanggung jawab Aa pribadi dengan yang “di atas”. Saya mah kagak ikutan dong.
Demikianlah surat saya ini, yang saya tulis dengan agak terburu-buru, disertai harapan tulus semoga karir Aa tidak lalu jadi ambrol, dan barisan fans Aa tidak juga “bubar jalan” gara-gara kehebohan ini. Salam hormat.
4 comments:
Apa kamu maksud nabi Muhammad lebih lemah lagi kalau beliau beristeri 15?
Allah yg ijinkan 4 isteri itu partner kejahatan. Allah yg ijinkan dan ajarkan 1 laki 4 isteri itu merendahkan perempuan menjadi alat pemuas nafsu setan. Tidak ada preman rela anaknya jd isteri ke 2-4. Allah lebih jahat dr preman kalo ajarin dan benarin 1 laki 4 isteri. Ini penipuan dan pembodohan atas nama agama. Yang paling jahat yaitu agama dipakai untuk benarkan hawa nafsu setan ini
Mudah-mudahan seluruh rakyat Indonesia dapat melihat hal ini dengan Objective, sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan akibat kontroversi ini, terutama kaum hawa. :D
sebetulnya kesimpulannya mudah. yang setuju silakan poligami, dan yang gak setuju silakan tidak usah. alasan tetap sekedar alasan, mau pakai alsan agama atau apa pun, tetap saja sebuah alasan.
maka, berjalanlah sendiri sendiri. mari kita nikmati hari demi hari kita, toh dosa kita tanggung sendiri.
Post a Comment