PARAGRAF-paragraf ini disediakan bagi reporter televisi dan petugas polisi yang mengalami nasib nahas saat bertugas di atas bangkai kapal Levina I yang mendadak karam. ahad siang lalu. Memang ada banyak urusan yang musti dibikin terang dalam musibah itu. Ada penyimpangan prosedural, begitulah kita dengar kalimat itu banyak diucapkan orang hari-hari ini. Ada banyak hal brengsek yang terus dijalankan dan dipertahankan, karena ada orang-orang yang kagak becus – barangkali lebih betul “masa bodoh" – dan itu banyak, yang menjamin bahwa hal-hal brengsek itu sebaiknya tetap ada.
Tapi kita mungkin boleh sedikit merasa terhibur, karena di tengah situasi yang mustahil dan gila ini, setidaknya ada seorang kru televisi swasta yang membuktikan kepada kita bahwa hal “baik”, bahwa sebuah “niat baik”, belum sepenuhnya absen dari tengah kita. Muhamad Guntur, reporter TV swasta itu, seperti dituturkan seorang rekannya, sebetulnya bisa saja merelakan “kameranya” hilang untuk sebuah pilihan lain yang “lebih masuk akal”. Tapi kita tahu ia, yang ternyata tidak bisa berenang, justru tidak mengambil pilihan lain yang “lebih masuk akal” itu.
Paragraf-paragraf ini juga disiapkan untuk korban tewas lainnya dari kapal itu. Mereka, puluhan jumlahnya, mungkin tidak semuanya terdaftar dalam buku manifes. Mereka pun tidak “beruntung” bisa diekspos media, atau dielu-elukan sebagai “hero”. Keberadaan mereka hanya dicatat sebagai angka, atau disebut sepintas lalu, barangkali dengan sedikit keterangan tambahan “tidak terdentifikasi”, atau sekadar tanda “?” pada papan tulis di kantor pelabuhan yang repot itu.
Tapi kita mungkin boleh sedikit merasa terhibur, karena di tengah situasi yang mustahil dan gila ini, setidaknya ada seorang kru televisi swasta yang membuktikan kepada kita bahwa hal “baik”, bahwa sebuah “niat baik”, belum sepenuhnya absen dari tengah kita. Muhamad Guntur, reporter TV swasta itu, seperti dituturkan seorang rekannya, sebetulnya bisa saja merelakan “kameranya” hilang untuk sebuah pilihan lain yang “lebih masuk akal”. Tapi kita tahu ia, yang ternyata tidak bisa berenang, justru tidak mengambil pilihan lain yang “lebih masuk akal” itu.
Paragraf-paragraf ini juga disiapkan untuk korban tewas lainnya dari kapal itu. Mereka, puluhan jumlahnya, mungkin tidak semuanya terdaftar dalam buku manifes. Mereka pun tidak “beruntung” bisa diekspos media, atau dielu-elukan sebagai “hero”. Keberadaan mereka hanya dicatat sebagai angka, atau disebut sepintas lalu, barangkali dengan sedikit keterangan tambahan “tidak terdentifikasi”, atau sekadar tanda “?” pada papan tulis di kantor pelabuhan yang repot itu.
Kita tak sempat tahu bagaimana mereka sebetulnya pada malam kelam saat kapal itu terbakar. Tak ada tayangan kamera “ekslusif” yang bisa dipamerkan kepada publik saat horor itu berlangsung. Tapi kita percaya, setidaknya saya tetap percaya, pada saat itu ada dari mereka yang sampai pada saat-saat terakhirnya – seperti dilakoni almarhum Muhamad Guntur – tetap membela “kameranya” daripada beralih pada pilihan lain yang “lebih masuk akal”, yang menjamin mereka bakal selamat.
Paragraf-paragraf ini memang disediakan bagi mereka, yang – meminjam kata-kata talzim seorang santu katolik – “telah menyelesaikan pertandingannya dengan baik …”, seraya “menjaga imannya”. Paragrag-paragraf ini mencoba menyelamatkan mereka, mungkin ke dalam sepotong kenangan penulisnya, sebelum waktu mengaramkan mereka lebih dalam lagi. Sebuah usaha yang mungkin saja sia-sia, karena waktu terus berjalan, tak menoleh atau bertanya, dan besok atau lusa – seperti antrean dalam sebuah arisan – ada saja kapal lain lagi yang terbakar, karam …
No comments:
Post a Comment