KALAU anda penggemar berat Joko “celana” Pinurbo alias Jokpin, kemungkinan besar anda sudah tahu kabar bakal segera terbitnya kumpulan puisi Jokpin yang paling gres. Judul bukunya Kepada Cium, dan inforrmasi tentang itu bisa dilongok di sini. Antologi ini akan menjadi buku Jokpin yang ketujuh, sebuah prestasi yang sungguh tergolong ajaib dalam dunia puisi kita.
Jokpin dinilai telah berhasil menembus kebekuan dunia puisi kita dengan sumbangan gaya puisinya yang sudah sama kita kenal itu. Sesudah Afrizal Malna, memang Jokpin adalah fenomena yang paling banyak menyedot perhatian kita. Jualan “celana”nya ternyata terus saja laris manis -- tapi sampai kapan kira-kira ya?
Seperti kita pahami, pembaca adalah juri yang paling jujur dan tak mempan dibohongi. Mereka pun adalah species pembosan yang mengerikan. Maka bagi saya pertanyaan “sampai kapan” jualan Jokpin masih bakal laku, menjadi hal yang menarik buat ditunggu.
Sapardi Djoko Damono menyiasatinya dengan menciptakan varian-varian baru dalam puisinya, sehingga ketika Akuarium dan Mata Pisau lahir, kita tidak merasa sedang membaca DukaMu Abadi dengan kulit sampul dan judul yang diganti. Varian-varian baru itu terus berlanjut ke Ayat-Ayat Api dan Ada Kabar Apa Hari Ini Den Sastro?, buku puisinya yang paling belakangan.
Kalau ditarik garis lurus akan kita dapatkan jarak yang jauh antara “estetika daun gugur” yang dulu menjadi roh DukaMu Abadi dengan puisi-puisi seperti "Kelereng" atau "Iklan" – untuk sekadar menyebut contoh – yang ada dalam antologi Ayat-Ayat Api.
Kalau Joko Pinurbo gagal menciptakan varian-varian baru itu – atau “puncak-puncak baru” dalam kosa kata Sutarji Calzoum Bachri – maka saya khawatir kita akan terlalu pagi bicara perihal “sandyakala Jokpin”, seraya mungkin dengan sedih mengenangnya sebagai seorang mantan penjual “celana” yang pernah sukses.
Jokpin dinilai telah berhasil menembus kebekuan dunia puisi kita dengan sumbangan gaya puisinya yang sudah sama kita kenal itu. Sesudah Afrizal Malna, memang Jokpin adalah fenomena yang paling banyak menyedot perhatian kita. Jualan “celana”nya ternyata terus saja laris manis -- tapi sampai kapan kira-kira ya?
Seperti kita pahami, pembaca adalah juri yang paling jujur dan tak mempan dibohongi. Mereka pun adalah species pembosan yang mengerikan. Maka bagi saya pertanyaan “sampai kapan” jualan Jokpin masih bakal laku, menjadi hal yang menarik buat ditunggu.
Sapardi Djoko Damono menyiasatinya dengan menciptakan varian-varian baru dalam puisinya, sehingga ketika Akuarium dan Mata Pisau lahir, kita tidak merasa sedang membaca DukaMu Abadi dengan kulit sampul dan judul yang diganti. Varian-varian baru itu terus berlanjut ke Ayat-Ayat Api dan Ada Kabar Apa Hari Ini Den Sastro?, buku puisinya yang paling belakangan.
Kalau ditarik garis lurus akan kita dapatkan jarak yang jauh antara “estetika daun gugur” yang dulu menjadi roh DukaMu Abadi dengan puisi-puisi seperti "Kelereng" atau "Iklan" – untuk sekadar menyebut contoh – yang ada dalam antologi Ayat-Ayat Api.
Kalau Joko Pinurbo gagal menciptakan varian-varian baru itu – atau “puncak-puncak baru” dalam kosa kata Sutarji Calzoum Bachri – maka saya khawatir kita akan terlalu pagi bicara perihal “sandyakala Jokpin”, seraya mungkin dengan sedih mengenangnya sebagai seorang mantan penjual “celana” yang pernah sukses.
No comments:
Post a Comment