https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

23 March 2007

Puisi yang Baik

PUISI yang baik mungkin seperti “teror” yang indah. Artinya ia datang pada kita sebagai sebuah “surprise”, atau hadiah yang diam-diam sudah lama kita rindukan, dan sekonyong saja ia hadir di haribaan kita. Kita pun terkesima, takjub, lalu menjelajahinya dengan rasa lapar yang tak kunjung sudah. Setiap sudut dan kelokannya menyuguhkan tamasya bahasa yang tak tepermanai. Puisi yang baik dengan demikian memberi hiburan--dengan “H”. Ia memuaskan libido artistik kita, menuntun kita pada orgasme puitik yang meninggalkan bercak-bercak yang dalam.

Tidak perlu dikatakan lagi bahwa puisi yang baik karena itu mencerahkan. Puisi yang baik, untuk meminjam kata-kata Kafka, adalah kapak tajam yang memecahkan kebekuan es dalam kepala kita. Puisi yang baik bekerja seperti kilatan-kilatan cahaya yang bersileweran dalam gelap pikiran kerdil manusiawi kita. Seseorang bahkan pernah bilang bahwa kata-kata dalam sebuah puisi (yang baik) adalah “jejak-jejak Tuhan yang tersesat” dan entah dengan cara bagaimana sampai ke tangan seorang penyair, yang lalu meneruskannya kepada kita.

Puisi yang baik mungkin juga seperti “wabah”, artinya ia menular. Ia menginspirasi dan menggoda kita untuk ikut menciptakan tamasya bahasa yang lain, yang kalau mungkin lebih gila lagi.Tapi hanya mereka yang punya iman puisi unggullah yang akan sampai pada obsesi–puisi yang baik dengan begitu juga obsesi--ambisius itu. Maka puisi yang baik juga “membunuh”–sebagian besar dari kita adalah korban ketidakberdayaan artistik semacam itu. Sebagian besar dari kita ditakdirkan untuk cukup puas melata– seraya mendongak tentu--di bawah kaki Sang Wabah itu.

Puisi yang baik? Ah, puisi yang baik sesungguhnya tidak bisa dirumus-rumuskan begitu. Bukankah keindahan memang “tabu” untuk diteorikan–lagi pula buat apa? Puisi yang baik selalu memberontak, “lolos dari dekap”, untuk mengutip sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo, karena ia “sebagian dari semesta”, dan karena ia adalah sebagian dari semesta, maka ia “satu dengan suara manusia”. Dan karena ia adalah suara manusia itu sendiri--artinya suara kita--maka siapa sih gerangan begitu bijak dan pintarnya sanggup menguraikan itu, mengonsepkannya, merumus-rumuskannya?

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...