DI TAHUN 1972 Goenawan Mohamad (GM) memperoleh anugerah seni dari pemerintah saat itu—tentu untuk prestasi dan dedikasinya di bidang kesusasteraan. Anugerah itu, yang diberikan dalam bentuk uang tunai sebesar 2 juta rupiah, secara demonstratif ternyata ditolaknya. Dalam sebuah esainya sehubungan dengan penolakan anugerah itu, ia mengemukakan alasan dirinya tidak merasa pantas menerima anugerah duit segede itu—yang untuk ukuran masa itu setara dengan dana bantuan untuk 10 desa tertinggal.
Ia menganggap pemberian hadiah itu kepada seorang penyair—yakni “kasta” yang tak kunjung sslesai dipertengkarkan keberadaan dan sumbangsihnya di sini—adalah sebuah “kekeliruan”. Adalah “salah” menganggap kerja seorang penyair harus diganjar sebegitu besarnya.
Mungkin hanya seorang GM yang sanggup melakukan hal semacam itu. Setidaknya saya belum pernah mendengar lagi ada sastrawan yang rela menampik diberi ganjaran duit besar sekarang ini. Dalam konteks waktu hari ini, paling-paling kita sekadar bertanya separuh hati, sudah benarkah apa yang saya lakukan : menulis puisi, umpamanya, di tengah lautan bencana yang datang bagai arisan di sekitar kita.
Tapi mestikah kita lalu berhenti menulis hanya karena merasa “tidak bisa berbuat apa-apa” di tengah situasi sarat musibah ini?
Butet Kartarejasa pernah disindir perihal apa saja yang sudah dikerjakannya—selain asyik ‘melucu hahahihi’—untuk situasi tanah air yang runyam saat ini. Atas sindiran itu ia pun menjawab tangkas : Saya main teater, karena saya memang pemain teater. Dan itulah sumbangannya terbesar.
Butet benar. Apa yang mau dikatakannya sederhana saja sebetulnya, yaitu bahwa kita masing-masing punya wilayah kerja sendiri. Dan masing-masing wilayah kerja itu memiliki tanggung jawab dan sumbangannya sendiri juga. Mereka ada bukan untuk saling menindas atau mengecilkan yang lain, melainkan saling melengkapi. Maka kalau kita mulai kehilangan rasa penghargaan kepada peran kita masing-masing, begitulah Putu Wijaya pernah berujar, itu pertanda kita sudah mengidap krisis.
Ia menganggap pemberian hadiah itu kepada seorang penyair—yakni “kasta” yang tak kunjung sslesai dipertengkarkan keberadaan dan sumbangsihnya di sini—adalah sebuah “kekeliruan”. Adalah “salah” menganggap kerja seorang penyair harus diganjar sebegitu besarnya.
Mungkin hanya seorang GM yang sanggup melakukan hal semacam itu. Setidaknya saya belum pernah mendengar lagi ada sastrawan yang rela menampik diberi ganjaran duit besar sekarang ini. Dalam konteks waktu hari ini, paling-paling kita sekadar bertanya separuh hati, sudah benarkah apa yang saya lakukan : menulis puisi, umpamanya, di tengah lautan bencana yang datang bagai arisan di sekitar kita.
Tapi mestikah kita lalu berhenti menulis hanya karena merasa “tidak bisa berbuat apa-apa” di tengah situasi sarat musibah ini?
Butet Kartarejasa pernah disindir perihal apa saja yang sudah dikerjakannya—selain asyik ‘melucu hahahihi’—untuk situasi tanah air yang runyam saat ini. Atas sindiran itu ia pun menjawab tangkas : Saya main teater, karena saya memang pemain teater. Dan itulah sumbangannya terbesar.
Butet benar. Apa yang mau dikatakannya sederhana saja sebetulnya, yaitu bahwa kita masing-masing punya wilayah kerja sendiri. Dan masing-masing wilayah kerja itu memiliki tanggung jawab dan sumbangannya sendiri juga. Mereka ada bukan untuk saling menindas atau mengecilkan yang lain, melainkan saling melengkapi. Maka kalau kita mulai kehilangan rasa penghargaan kepada peran kita masing-masing, begitulah Putu Wijaya pernah berujar, itu pertanda kita sudah mengidap krisis.
1 comment:
kang ook, baca tulisan ini, aku ingat ada catatan serupa yang belum selesai. kebetulan ada butet juga. catatan saat diskusi bertiga dengan beliau dan jokpin akhir tahun 2006. jadi disemangati untuk meneruskannya. minta ijin mengutip sebagian omongan GM ya? matur nuwun.
salam,
Yo
Post a Comment